JAKARTA, (PRLM).- Hak Interpelasi yang diajukan DPR RI
terkait pemberian grasi bagi terdakwa asal Australia, Corby, dianggap akan
memberi preseden buruk bagi DPR. Niatan DPR RI untuk meminta kejelasan latar
belakang pemberian grasi oleh Presiden SBY itu malah akan menjadi sebuah
intervensi.
"Coba kaji posisi antarlembaga negara, kira-kira
posisi presiden dan DPR dalam masalah grasi ada di mana dalam konsitusi kita.
Apakah bisa interpelasi? Itu namanya intervensi,” ujar Ketua Komisi III DPR RI
Gede Pasek Suardika, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/12).
Ia menjelaskan, Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga hukum
tertinggi saja tidak boleh memberikan intervensi terhadap hak prerogatif
presiden. MA pun hanya sebatas memberi pertimbangan dalam kaitan pemberian
grasi tersebut.
Gede berharap, anggota DPR RI tidak terburu-buru dalam
mengajukan salah satu hak dari DPR itu. Ia khawatir usulan interpelasi itu
malah menjadi bentuk intervensi terhadap Presiden. Padahal, Undang-Undang telah
mengatur hak prerogatif Presiden dalam memutuskan pengabulan grasi.
“Apalagi, konstitusi kita mengatur kalau urusan grasi itu
ranah presiden, dengan meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Secara fatsun hukum
tata negara, masalah grasi bukan ranah DPR untuk diintervensi. Itu kewenangan
absolut, istimewa, prerogatif, yang dimiliki seorang presiden sebagai kepala
negara,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq
mengatakan, pemberian grasi itu masih perlu dipertanyakan meskipun hal itu
merupakan hak prerogratif presiden. Terlebih, kata dia, pemberian grasi itu
erat kaitannya dengan negosiasi antara Indonesia dengan Australia.
"Barter atau negosiasi itu tidak masalah, sah-sah
saja. Tapi kami tentu perlu mengetahui negosiasi apa yang telah disepakati,
agar bisa kami awasi," tutur Mahfudz, yang juga Wakil Sekretaris Jenderal
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Hingga saat ini, belum ada penjelasan yang jernih terkait
alasan pengabulan grasi bagi terdakwa kasus narkotika asal Australia, Corby.
Akibatnya, kondisi tersebut dianggap akan memicu preseden buruk bagi ketegasan
hukum terhadap pemberantasan narkotika di Indonesia.
"Para pengedar dan penjual narkotika tentu akan
semakin tertarik untuk mengembangkan pasar di Indonesia," katanya.
(A-196/A-108)***
0 komentar:
Posting Komentar